Kajian
Penolakan Pemakaman Jenazah Korban Covid 19 Berdasarkan KUHP Dan UU Wabah Penyakit.
Oleh Edo Fernando
Latar
Belakang
Hukum merupakan salah
satu dari pencerminan perilaku manusia yang merupakan kajian utama dalam
psikologi. Psikologi hukum sebagai suatu cabang pengetahuan yang mempelajari
hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan manusia. Cabang ilmu ini melihat kaitan antara jiwa manusia di
satu pihak dengan hukum di lain pihak. Suatu kenyataan bahwa salah satu segi
yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern adalah penggunaannya
secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki.[1] Menurut
Craig Haney bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat perskriptif
artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang seharusnya berperilaku,
tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelaan yang lengkap dan akurat
mengenai perilaku manusia, tujuan utama hukum adalah mengatur perilaku manusia.[2]
Salah satu isu hukum
yang menarik untuk dikaji berdasarkan kacamata hukum dan psikologi adalah
Kajian Penolakan Pemakaman Jenazah Korban Covid 19 Berdasarkan KUHP Dan UU Wabah Penyakit.
Kronologis:
Polda Jawa Tengah
(Jateng) menangkap tiga orang yang diduga menolak pemakaman perawat RS Karyadi
Semarang, Nuria Kurniasih, yang meninggal terinfeksi virus corona (Covid-19),
di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sewakul, Ungaran, Kabupaten Semarang. Tiga orang
tersebut adalah ketua RT setempat, THR (31) dan dua warganya, BSS (54) dan
seorang pelaku lain berinisial S (60). "Dari pendalaman penyelidikan, apa
yang dilakukan ketiganya sudah masuk dalam pelanggaran hukum," kata
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng Kombes Budhi Haryanto di kantornya,
Budhi mengatakan para
pelaku saat ini tengah menjalani pemeriksaan oleh penyidik. Menurutnya,
tindakan para pelaku melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Penanggulangan Wabah serta Pasal 212 dan Pasal 214KUHP.
Pembahasan
Analisa
Kasus
Dalam 212 perlawanan
ditujukan secara langsung kepada petugas sehingga dapat menimbulkan akibat
tertentu (luka/kematian). Dari aspek perumusan tindak pidana, maka Pasal
212 termasuk dalam kategori tindak pidana materiil, karena ada akibat yang
timbul pada pejabat/pegawai yang dilawan tersebut.[3]
Karena itu, ajaran kausalitas juga diperlukan untuk menentukan perbuatan
(perbuatan-perbuatan) yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut.[4]
Unsur-unsur deliknya : melakukan perlawanan pada pejabat/pegawai yang sedang
bertugas, dilakukan dengan kekerasan berupa timbulnya luka memar pada tubuh,
dan dilakukan dengan sengaja karena para warga mengetahui bahwa yang bertugas
adalah petugas kesehatan dan jika pelakunya dua orang atau lebih dan dilakukan
secara bersama-sama maka yang dipergunakan adalah Pasal 214.
Dalam Pasal 214 ini
terdapat gradasi hukuman penjara yang berbeda, tergantung pada munculnya akibat
yang dilarang. Pasal ini berkaitan pula dengan adanya kerumunan warga yang
menolak pemakaman padahal penyebaran virus Covid 19 melalui kontak kulit dapat
terjadi.terhadap kerumunan warga petugas dapat mengenakan aturan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka
percepatan Penanganan Covid 19 sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB) yang menjadi
aturan pelaksana Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan.
Sedangkan dalam pasal Pasal 14 Undang-undang Nomor 04
tahun 1984 Tentang Wabah penyakit Menular “Barang siapa dengan sengaja
menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).[5]
Pasal 178 KUHP
menyatakan: “Barang siapa yang dengan sengaja merintangi atau
menghalang-halangi jalan masuk atau pengangkutan mayat ke kuburan
yang diizinkan. diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu
atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”. Pasal ini berada
di bawah bab mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum. Rumusan ini ada
padanannya dalam Nederland Wetboek van Strafrecht, yakni Pasal 148.
Ancaman pidana ini
ditujukan (normaddressat) kepada
‘barang siapa’, atau ‘siapapun’. Bagian inti deliknya adalah ‘sengaja’,
‘merintangi atau menghalang-halangi’, dan ‘jalan masuk atau pengangkutan mayat
ke kuburan yang diizinkan’. Dalam buku KUHP, R. Soesilo (1994: 149-150),
mencatat perbuatan ini harus dilakukan dengan sengaja ‘merintangi’, artinya
menghalang-halangi, sehingga pembawaan mayat itu tidak dapat berlangsung (verhideren). ‘Menyusahkan’ artinya
mengganggu, sehingga meskipun pembawaan mayat itu dapat berlangsung, akan
tetapi dengan susah payah (belemmeren).
Pasal 178 KUHP bermakna
bahwa anasir ini mempengaruhi anasir-anasir berikutnya. Unsur melawan hukum
dari tindakan terlarang harus dikaitkan dengan status pemakaman, misalnya
Tempat Pemakaman Umum (TPU). Mengusung jenazah ke lokasi pemakaman sesuai
dengan protap atau sesuai dengan peraturan yang dibuat penguasa bukanlah
perbuatan melawan hukum. Tindakan melawan hukumnya adalah merintangi atau
menghalangi jalan masuk (yang diizinkan) ke suatu tempat pemakaman, dan
merintangi atau menghalangi pengusungan jenazah (yang diizinkan) ke suatu
tempat pemakaman. Pasal ini sudah dapat diterapkan tanpa harus semua pengusung
atau pengantar jenazah dirintangi. Hanya beberapa orang saja dirintangi, delik
ini sudah dapat digunakan.
Gabriel Tarde seorang Psychologist Perancis mengatakan bahwa
melanggar hukum itu dipelajari dari pergaulan dengan pelanggar hukum pelanggar
hukum yang lain( pengaruh tiru meniru). Jadi seseorang melakukan kejahatan
terhadap orang lain sebenarnya hasil dari meniru orang lain yang melakukan
terutama mereka yang mempunyai jabatan.[6]
Psikologi hukum sebagai
disiplin ilmu tentang perilaku manusia yang berusaha untuk berkontribusi dalam
usaha penegakan hukum yang berbentuk memberikan pengetahuan dan intervensi
psikologis berguna dalam proses penegakan hukum.[7]
Seseorang dalam hidup
bermasyarakat dilingkungannya dikelilingi oleh orang-orang yang mematuhi hukum
dan pada waktunya yang bersamaan juga dikelilingi oleh orang-orang yang tidak
mematuhi hukum.[8]
Sehingga pelanggaran hukum yang dilakukan seseorang bukan karena
warisan/keturunan melainkan dipelajari dalam pergaulan masyarakat di
sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat melakukan penolakan pemakaman karena
terprovokasi oleh 3 pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Kesimpulan
Penegakan hukum berarti
mencakup penegakan kedamaian dalam arti luas, yang pada pokoknya adalah
keserasian antara ketertiban dan ketentraman. Dalam praktek penegakan hukum
tekanannya terletak pada penegakan ketertiban, namun disini akan lebih
memperhatikan faktor ketentraman( pribadi) yang ditelaah dari psikologi hukum.[9] Dengan
psikologi hukum ketika menyelesaikan permasalahan hukum lebih mengenal dirinya
dengan introspeksi dan orang disekitarnya dengan siapa penegak hukum
berinteraksi.
Saran
Indicator penegakan
hukum yang baik dalam perspektif psikologis adalah adanya perubahan perilaku
pelaku tindak pidana kearah yang lebih baik setelah menjalani proses
rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan. Sehingga dengan dijatuhinya putusan
pengadilan nantinya mampu memberikan efek jera kepada tersangka sedangkan bagi
masyarakat dapat dijadikan tindakan preventif agar tidak mengulangi perbuatan
tersebut karena ancaman pidana juga berfungsi sebagai upaya edukasi kepada
masyarakat agar patuh terhadap hukum
[1] Bodenheimer, 1974, Jurisprudence, The Philosophy And Method Of
Law, Cambridge Mass, Harvard University Press, Hlm 107, Dalam Satjipto
Rahardjo, I986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, Hlm. 335
[2]
Prakoso Abintoro, 2017,
Psikologi Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Jember, Hlm 30.
[3]
Widodo Supriadi dkk, 2016, Kejahatan Ideologi dalam R KUHP, Jakarta, Jurnal
ICJR dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP
[4]
Afriani Anita, Penegakan Hukum dan Model Pengaturan di Indonesia, Jurnal Hukum
dan Peradilan, Volume 7 Nomor 3, November 2018: 441-458
[5]
Pasal 14 Undang-undang Nomor 04 tahun 1984 Tentang Wabah penyakit Menular
[6] Gerson W. Bawengan, 1977, Pengantar Psychology Kriminal ¸ Pradnya
Paramita, Jakarta, Hlm. 36.
[7]
Ivan Muhammad Agung , 2011,
Bunga Rumput Psikologi Kontribusi Psikologi Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia,
Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Hlm 12.
[8]
Edwin H. Sutherland
&Donald R Cressey, 1969, principles
of Criminology, Sixt Edition, J.B Lippincott Company, Chicago, Philadelphia,
New York. Hlm 287
[9]
Soerjono Soekanto, 1979, Beberapa
Catatan Tentang Psikologi Hukum, Alumni, Bandung, Hlm 52.
Comments
Post a Comment