BAB
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud
Perkawinan adalah hubungan lahir batin antara seorang laki-laki sebagai suami
dan perempuan sebagai istri dengan
tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Kehadiran anak dalam
keluarga merupakan suatu yang dinanti-nantikan sebagai penerus keturunan serta menambah kebahagiaan. Bahkan merupakan
suatu harapan orang tua terhadap anak yang dilahirkannya kelak akan mampu
mewujudkan harapan dan cita-cita orang tua yang belum tercapai. Begitu
pentingnya kehadiran anak dalam hubungan perkawinan, membuat suatu pandangan
dalam masyarakat bahwa tidak adanya keberadaan anak merupakan perkawinan yang
gagal. Adanya hubungan yang tidak harmonis antara suami istri dan faktor biologis
yang tidak baik merupakan beberapa penyebab ketidakberadaan anak pada pasangan
suami istri. Sehingga mereka yang tidak mempunyai anak sering mengambil
tindakan untuk melakukan pengangkatan anak (adopsi).
Perbuatan melakukan
pengangkatan anak oleh mereka yang tidak memiliki anak dapat dibenarkan jika
bertujuan untuk kepentingan dan kesejahteraan anak. Pengangkutan anak merupakan
tindakan mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu sehingga timbul hubungan
seakan-akan di dasarkan atas faktor hubungan darah.[1] Demikan
dengan contoh kasus dalam penulisan proposal ini tentang perebutan hak waris
antara anak angkat dengan saudara kandung pewaris. Berawal dari kematian
seorang laki-laki (pewaris) dengan meninggalkan harta kekayaan berupa benda tak
bergerak (rumah, tanah HGB, dan ruko) dan benda bergerak (sejumlah perhiasan
emas). Harta kekayaan tersebut merupakan keseluruhan dari harta gono-gini
maupun harta bukan gono-gini yang belum dibagi milik almarhum bersama istrinya.
Pewaris pernah menikah dengan seorang wanita namun pernikahan tersebut
dinyatakan putus karena perceraian dengan putusan Pengadilan Negeri.
Setelah pewaris
meninggal dunia, harta kekayaan yang dia miliki berada dalam kekuasaan
istrinya, harta tersebut kemudian menjadi sengketa karena pihak keluarga
pewaris tidak terima jika harta milik saudaranya tersebut dikuasai oleh istrinya.
Perselisihan tersebut terjadi karena Pernikahan yang terjadi antara pewaris dan
istrinya tidak dihasilkan keturunan, sehingga istrinya dianggap tidak berhak
mendapat harta kekayaan suaminya, mengacu pada ketentuan pasal 856
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa
“Apabila seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun
suami atau istri, sedangkan baik bapak maupun ibunya telah meninggal lebih
dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara laki-laki dan
perempuan dari si meninggal”.
Terdapat seorang anak
perempuan yang merupakan anak yang diambil atau di pungut ketika bayi dan hidup
bersama keluarga pewaris sejak anak tersebut ditemukan, istri dari pewaris
selaku ibu angkat meninginginkan anak yang telah diakui oleh pewaris bersama
dirinya sebagai anak yang lahir dari perkawinan mereka itu memperoleh hak-hak
yang semestinya di dapat anak kandung pada umumnya sebagaimana tertuang dalam
Undang-undang No.4 tahun
1979 tentang kesejahteraan anak. Ahli
waris merupakan unsur yang penting dalam hal pewarisan, apabila ahli waris tersebut
tidak ada maka harta waris yang dimiliki oleh si pewaris menjadi milik negara.[2]
Pada kehidupan
bermasyarakat sering timbul masalah tentang siapa yang
berhak menjadi ahli waris untuk mewarisi
harta waris si pewaris. Ahli waris telah
di singgung di atas adalah mempunyai
hubungan sedarah atau kekerabatan, akan
tetapi dalam pratek bahwa apabila
pasangan suami-istri tidak memiliki keturunan
maka pasangan suami-istri mengangkat
anak untuk dijadikan anak. Pada kehidupan masyarakat seiring timbul masalah
tentang siapa yang berhak menjadi ahli waris untuk mewarisi harta si pewaris.
Ahli waris telah di singgung di atas adalah mempunyai hubungan sedarah atau
kekerabatan, akan tetapi dalam prakteknya bahwa apabila pasangan suami-istri
tidak mempunyai keturunan maka pasangan suami-istri mengangkat anak untuk
dijadikan anak.
Salah satu tujuan dari
perkawinan adalah memiliki anak untuk meneruskan hubungan yang
berkesinambungan. Anak merupakan suatu hal yang tidak bisa ditukar dengan apa
pun, karena anak merupakan aset yang berharga bagi mereka. Anak berfungsi
sebagai penerus harta atau bahkan tahta. Anak angkat yang ada di lingkungan keluarga
tersebut apabila si orang tua angkat tersebut meninggal dapatkah di katakan
sebagai ahli waris yang sah menurut hukum perkawinan.
Berdasarkan uraian
latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisa dan menyusunnya
dalam bentuk proposal yang berjudul “
Kedudukan Hukum Anak Angkat Terhadap Hak Mewaris”
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraikan latar belakang di
atas, maka penulisan merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam proposal
ini, yaitu :
1. Apa dasar hukum pengangkatan anak di
Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan hukum anak angkat
terhadap hak mewaris?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan proposal ini agar
memperoleh suatu sasaran yang di
kendaki, maka penulis menerapkan tujuan dari penulisan proposal ini menjadi 2
(dua) macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan proposal ini
adalah :
1. Memenuhi
dan melengkapi salah satu tugas Penelitian
Hukum
2. Sebagai
salah satu sarana untuk mengembangkan dan sebagai usaha penerapan ilmu
pengetahuan yang diperoleh di perkuliahan dengan praktek yang terjadi
didalam kehidupan masyarakat;
3. Memberikan
sumbangan pemikiran dan wawasan yang berguna bagi mahasiswa Fakultas
Hukum dan almamater.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang hendak di capai dalam
penulisan proposal ini adalah :
1. Mengetahui
tentang dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia
2. Mengetahui
tentang kedudukan hukum anak angkat terhadap hak mewaris
2.1.4 Manfaat Penelitian
Adapun
manfaat penulisan proposal ini adalah :
a)
Secara Teoritis
Dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi perkembangan hukum
pada umumnya dan dapat memberikan informasi mengenai kedudukan
hukum anak angkat terhadap hak mewaris, serta dapat menjadi tambahan literatur atau bahan
informasi ilmiah yang dapat dipergunakan untuk melakukan pengkajian dan
penelitian selanjutnya.
b)
Secara Praktis
Menambah
wawasan bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya, termasuk masukan
untuk pemangku kebijakan dalam menangani permasalahan hukum waris.
2.1.5 Penelitian
Terdahulu
Nama
|
Judul
|
Komponen Pembanding
|
Penelitian Terdahulu
|
Penelitian Sekarang
|
Suyanti
|
Tinjauan Hukum Islam Tentang Warisan Bagi Anak Angkat Dalam
Perspektif Hukum Adat Jawa
|
Rumusan Masalah
|
Mengapa anak angkat bisa mendapatkan harta warisan menurut hukum adat
masyarakat Jawa di Desa?
Bagaimana pandangan hukum islam terhadap kewarisan anak angkat dalam
adat Jawa di Desa?
|
Apa
dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia?
Bagaimana
kedudukan hukum anak angkat terhadap hak mewaris?
|
Metode Penelitian
|
Metode Kepustakaan
(Library Research)
|
Penelitian
Hukum Yuridis Normatif
|
||
Ulfa Ramadhani Nasution
|
Status Anak Angkat Dalam Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat
Batak Angkola.
|
Rumusan Masalah
|
Bagaimana status anak angkat dalam pembagian harta warisan di suku
batak angkola?
Bagaimana pengaruh adat dan agama terhadap status anak angkat dalam pembagian harta
warisan di suku Batak Angkola?
|
Apa
dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia?
Bagaimana
kedudukan hukum anak angkat terhadap hak mewaris?
|
Metode Penelitian
|
Penelitian Lapangan (Field
Research)
|
Penelitian
Hukum Yuridis Normatif
|
||
Linda Fri Filia
|
Status Anak Angkat Dalam Kewarisan Menurut Kompilasi Hukum Islam
|
Rumusan Masalah
|
Bagaimana Kedudukan anak angkat menurut kompilasi hukum islam?
Bagaimana Kedudukan anak angkat terhadap Harta Warisan dalam KHI?
|
Apa
dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia?
Bagaimana
kedudukan hukum anak angkat terhadap hak mewaris?
|
Metode Penelitian
|
Metode Kepustakaan
(Library Research)
|
Penelitian
Hukum Yuridis Normatif
|
2.1.6
Metode Penelitian
Metode penelitian
merupakan cara kerja bagaimana menemukan hasil atau memperoleh atau menjalankan
suatu kegiatan untuk memperoleh hasil yang konkrit. penelitian hukum adalah
suatu proses yang berkaitan dengan analisis suatu permasalahan hukum tertentu
yang disertai dengan penyelesaian permasalahan tersebut dengan menerapkan hukum
yang sesuai dengan faktor- faktor terkait. Penelitian hukum dilakukan dalam
rangka upaya pengembangan hukum serta menjawab isu-isu hukum baru yang
berkembang dalam masyarakat,tanpa penelitian hukum maka pengembangan hukum
tidak berjalan optimal.[3]
2.1.6.1
Tipe Penelitian
Penelitian hukum adalah
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.[4]
Tipe penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkajiberbagai aturan
hukum yang bersifat formil seperti undang-undang, peraturan- peraturan, serta
literatur yang berisi konsep-konsep secara teoritis yang kemudian dihubungkan
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam proposal ini.
2.1.6.2
Pendekatan Masalah
Pada Penelitian hukum
normatif di dalamnya terdapat beberapa pendekatan yang dipakai untuk memperoleh
informasi serta isu hukum yang dicoba untuk mencari jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan
undang-undangan (statue approach),
pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan masalah yang
digunakan dalam penulisan proposal ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan
konseptual
(conceptual
approach).
1.
Pendekatan
perundang-undangan (statue approach)
merupakan pendekatan
yang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang ditangani,[5]
yaitu: dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia, syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam pengangkatan anak, pengangkatan,kedudukan hukum anak angkat
terhadap hak mewaris.
2.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan
pendekatan yang beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.[6]
Dengan mempelajari pandangan dan doktrin tersebut merupakan sandaran bagi
peneliti dalam membangun argumentasi hukum dalam memecahkan isu
hukum dan kemudian dapat menentukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan
dengan isu hukum yang di hadapi. Berdasarkan pendekatan ini akan di
kaji mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengangkatan
anak.
2.1.6.3
Bahan Hukum
Bahan hukum merupakan
alat dari suatu penulisan yag digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada.
Adapun bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan proposal ini adalah :
2.1.6.4
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer
merupakan bahan huku yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas.
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan atau
putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penulisan proposal
ini adalah :
1.
Staatblad
1917 No 129
2. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
3. Instruksi
Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam
4. Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan
Anak.
6. Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 4 Tahun 1989
tentang
Pengangkatan Anak
7. Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) No. 6
Tahun
1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik
Indonesia No. 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak
2.1.6.5
Bahan Non Hukum
Bahan non hukum sebagai
penunjang dari sumber bahan hukum primer dan sekunder yang memberikan petunjuk
maupun memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
Bahan-bahan non hukum dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan
penulisan. Bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai ilmu politik,
ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan ataupun laporan-laporan penelitian non
hukum dan jurnal non hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topok
penelitian.[7]
2.1.6.6
Analisa Bahan Hukum
Analisa yang
dipergunakan dalam proposal ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu metode yang
mengklasifikasikan dan menganalisis untuk mendeproposalkan permasalahan-permasalahan
yang akan dibahas dalam proposal ini berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta menghubungkan juga data-data lain yang
ada. Peter Mahmud Marzuki menulis bahwa penelitian hukum
dilakukan dengan langkah-langkah :
1.
Mengidentifikasi fakta
hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan dan menetapkan isu
hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan
bahan-bahan hukum dan bahan non hukum yang dipandang
mempunyai
relevansi;
3. Melakukan
telaah terhadap isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan- bahan yang telah
dikumpulkan;
4. Menarik
kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum;
5. Memberikan
preproposal berdasarkan argumentasi yang telah dibangun
didalam
kesimpulan.[8]
Bahan yang sudah
terkumpul kemudian dinalisis agar dapat digunakan sebagai bahan yang bersifat
deskriptif yaitu bahasan yang memberi gambaran yang secara lengkap dan jelas
mengenai permasalahan yang terjadi di lapangan kemudian disesuaikan dengan
berbagai teori dan praktek. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data-data
itu dengan menggunakan suatu metode deskriptif yang memberikan gambaran secara
lengkap dan jelas permasalahan yang ada dan didasarkan pada peraturan
perundng-undangan yang berlaku. Kemudian menarik kesimpulan dengan menggunakan
metode deduktif yaitu suatu metode menarik kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.[9]
Adapun penarikan kesimpulan
dapat dilakukan menggunakan bahan yang bersifat deskriptif. Analisis data
dengan menggunakan metode deskriptif dapat memberikan gambaran yang jelas.
Gambaran yang jelas dapat memberikan data untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan
yang bersifat deduktif merupakan suatu penarikan kesimpulan dari umum ke
khusus. Penarikan kesimpulan dari khusus ke umum disebut dengan metode
induktif. Penarikan kesimpulan harus diambil sesuai dengan rumusan masalah.
2.1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam proposal
ini dibagi menjadi 4 (empat) bab yaitu: BAB 1. Pendahuluan, BAB II. Tinjauan
Pustaka, BAB III Metode Penelitian, dan BAB IV Sistematika Penulisan. Berikut
penjelasan dari masig-masing bab tersebut.
BAB I Pendahuluan, Ketentuan
dalam bab ini yang dikemukakan terlebih
dahulu tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian dan Manfaat Penelitian.
BAB II Tinjauan Pustaka, yang memuat landasan
teori, konsep, dan pengertian
yuridis yang digunakan untuk mendiproposalkan permasalahan
yang diangkat dalam proposal ini. Tinjauan Pustaka memuat ketentuan mengenai Pengertian
anak dan anak angkat, hukum waris berdasarkan kuhperdata, serta harta waris.
BAB III Pembahasan,
yang memuat jawaban dari rumusan masalah dalam proposal ini yaitu pertama menganalisis dasar hukum
pengangkatan anak di Indonesia. Kedua, untuk menganalisis kedudukan
hukum anak angkat terhadap hak mewaris.
BAB IV Penutup, yang berisi kesimpulan
dan saran. Kesimpulan adalah pernyataan berisi tentang hasil pendapat dari
adanya jawaban atas rumusan masalah dalam pembahasan. Saran adalah sebuah
solusi yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Saran
harus bersifat membangun, secara obyektif dan sesuai dengan topic yang dibahas.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.2
Anak Angkat
2.2.1
Pengertian Anak
Keluarga mempunyai
peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan
merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang ayah, ibu,
dan anak. Pada kenyataannya tidak selalu ketiga unsur ini terpenuhi, sehingga
kadang-kadang terdapat suatu keluarga yang tidak tidak mempunyai anak. Terkait
demikian dilihat dari eksistensi keluarga sebagai kelompok kehidupan
masyarakat, menyebabkan banyak keluarga yang menginginkan anak, karena berbagai
alasan, sehingga terjadilah perpindahan anak
dari satu kelompok ke dalam kelompok
keluarga yang lain.
Berdasarkan perspektif hukum, pengertian
anak dapat dilihat melalui beberapa perundang-undangan, antara lain :
1.
Pasal 330 KUHPerdata,
menentukan :
“Belum
dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
tidak dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap dua
puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
di bawah perwalian”.[10]
2.
Pasal 7 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 :
“Seorang
pria diizinkan kawin (dianggap sudah dewasa dan layak untuk kawin) sesudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita yang sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan terhadap hal ini hanya dapat dimintakan
dispensasi”.
3.
Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa
:“Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Disamping pengertian
yang telah dijelaskan di atas, terdapat pengertian macam-macam anak yang dibedakan
oleh Fockemaa Andrea menurut sah atau tidaknya proses perkawinan yang dilakukan
oleh kedua orang tuanya, antara lain:[11]
a.
Anak sah, adalah anak
yang oleh hukum dinyatakan sah.
Dikatakan
bahwa kententuan pokok mengatur seorang anak itu adalah sah bila ia
dilahirkan selama dalam
perkawinan atau dalam
tempo 307 hari setelah perceraian kedua orang tuanya.
b. Anak
tidak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah. Akan tetapi
anak yang tidak sah ini ada yang dapat disahkan dengan cara orang laki-laki
yang menyebabkan si perempuan
mengandung menikaahi perempuan itu, baik dalam masa pengandungannya,
maupun setelah anaknya lahir. Akan
tetapi
terhadap anak yang telah lahir dari pengesahannya dengan menikahi ibunya
hanyalah bila ia terlebih dahulu mengakui anak itu sebagai anaknya.
Anak tidak sah dibedakan menjadi :
1.
Anak luar kawin yang
bukan hasil perselingkuhan atau
sumbang
adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan,
yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan
tidak ada larangan untuk saling
menikahi,
anak-anak yang demikianlah yang bis diakui secara sah oleh ayahnya
(Pasal 280 KUHPerdata);
2.
Anak zina adalah anak
yang dilahirkan dari hubungan
luar
nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dimana salah
satu atau kedua-duanya, terikatperkawinan dengan orang lain. Anak zina tidak mempunyai hubungan
nasab dengan laki-laki yang
menyebabkan
anak tersebut lahir;
3.
Anak sumbang adalah
anak yang dilahirkan dari
hubungan
antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan,
yang antara keduanya berdasarkan ketentuan Undang-undang ada
larangan untuk saling menikahi
(Psal
31 KUHPerdata).
Terkait demikian anak
luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat
perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi,
anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280
KUHPerdata). Pengertian anak luar kawin dalam Pasal 43 (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 ialah anak yang lahir dari perkawinan tidak sah. Akibat hukum anak
luar kawin adalah anak tersebut tidak bisa mewaris dari bapaknya dan hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya atau keluarga ibunya. Hak
keperdataan anak luar kawin tersebut menimbulkan pengaruh besar dan luas
terhadap sang anak, oleh karena tidak mendapatkan perlindungan hukum, seperti
pemiliharaan dan kesejahteraan anak, termasuk hak anak untuk mewaris. Kedudukan
anak luar kawin tersebut akan menjadi beban bagi ibunya dan keluarga ibunya dan
status hukum anak juga tidak terjangkau oleh hukum seperti dalam penentuan
keabsahan anak seperti status akta kelahiran anak. Padahal, didalam kelahiran
anak di luar kawin sang anak tidak berdosa sama sekali melaikan perbuatan
hubungan antara kedua orang tuanya yang menyebabkan kelahirannya ke muka bumi
ini.
2.2.2
Pengertian Anak Angkat
Berdasarkan pengertian
anak angkat dalam mendefinisikan mengenai pengangkatan yakni pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak yang berbunyi :
“Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
keputusan atau pengadilan.”
Menurut Fuad Muhammad
Fachruddin mendefinisikan anak angkat sebagai anak yang dilahirkan dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut kedalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau
penetapan pengadilan.[12]
Bahwa anak angkat
adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari
keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban
anak beralih kepada kepada orang tua angkat sebagai anak kandung. Orang tua
bertanggung jawab atas seluruh hak dan kewajiban seorang anak yaitu memberikan
kasih sayang dan memelihara anak tersebut sampai anak itu tumbuh dewasa. Orang
tua juga memberikan kehidupan yang layak dalam lingkungan keluarga maupun dalam
lingkungan sekolah. Soerojo Wignjodipoero memberikan batasan sebagai berikut:
Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain
kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut
anak dan anak yang dipunggut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama
seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.[13]
Mengangkat anak
merupakan pengambilan anak orang lain untuk di asuh dan dirawat hingga anak itu
dewasa. Mengangkat anak biasanya dilakukan oleh keluarga atau pasangan suami
istri yang tidak memiliki keturunan. Mengangkat anak ini pun tidak bisa
dilakukan sembarangan. Mengangkat anak harus dilakukan
sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Mengangkat anak juga harus memperhatikan calon orang tua angkatnya, baik atau
tidak. Mengangkat anak anak harus mendapatkan persetujuan para pihak yang
bersngkutan.[14]
J.A Nota seorang ahli
hukum Belanda yang khusus mempelajari adopsi adalah suatu lembaga hukum yang
dapat memindahkan seorang kedalam ikatan keluarga lain (baru) sedemikian rupa
sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian hubungan hukum yang sama
seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya.
Tujuan dari
pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan keturunan manakala dalam suatu
perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat
dibenarkan, dan salah satu jalan positif serta manusiawi terhadap naluri
kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-tahun belum dikaruniai
anak. Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah kelurga,
dengan maksud agar si anak agkat
mendapat pendidikan yang baik untuk mempererat hubungan keluarga dan suatu
kewajiban bagi seorang yang mampu terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua,
sebagai misi kemanusiaan dan pengalaman ajaran agama.
2.3
Hukum Waris Berdasarkan KUHPerdata
2.3.1
Pengertian Pewaris
Pewaris “Erflater” adalah orang yang meninggal
dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta
kekayaan maupun hak- hak yang di peroleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan selama hidupnya baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat
wasiat.[15]
Orang yang mewariskan benar-benar telah meninggal dunia dan dapat dibuktikan
secara hukum dan harta peninggalan pewaris tidak boleh dibagikan kepada ahli
waris, kecuali apabila pewarisnya telah diketahui dengan pasti telah meninggal
dunia, atau telah diangggap mati secara hukum dengan meninggalkan sejumlah
harta kekayaan untuk diwariskan. Contoh: orang yang mati secara hukum adalah
orang yang hilang, yang tidak diketahui keberadaannya, apakah orang itu masih
hidupataukan sudah mati. Apabila hakim telah memutuskan pewaris meninggal
dunia, maka pada saat itu harta orang yang diputuskan mati secara hukum, boleh
dibagikan kepada ahli warisnya. Hal itu terkait dengan syarat utama untuk
timbulnya suatu pewarisan ialah, pewaris harus telah meninggal terlebih dahulu.
Seperti yang telah diisyaratkan dalam
Pasal 830 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian.[16]
Adanya kematian
seseorang menurut KUHPerdata mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban
pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan
dalam pasal 833 ayat (1) KUHPerdata, yaitu “sekalian ahli waris dengan
sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak,
dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “Saisine”. Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu:[17] “
Ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa
memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut
belum mengetahui tentang adanya warisan itu.
Undang-undang telah
menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum seseorang yang meninggal,
sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu.
Undang-undang berperinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya
tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Apabila seseorang tidak
menentukan sendiiri ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap
harta kekayaannnya maka dalam hal demikian undang-undnang kembali akan
menentukan perihal pengaturann harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.
2.3.2
Ahli Waris
Ahli waris “ Erfgenamen” ialah anggota keluarga orang
yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum
kekayaan karena meninggalnya pewaris.[18]
Ketentuan pasal 832 KUHPerdata tentang ahli waris: “menurut undang-undang yang
berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun
luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama selama semua menurut
peraturan tertera di bawah ini. Bilamana baik keluarga sedarah maupun si yang
meninggal menjadi milik negara yang maka segala hutangnya sekadar harta
peninggalan mencukupi untuk itu”. Menurut pasal 832 ini yang berhak menjadi
ahli waris adalah keluarga sederajad baik yang sah maupun luar kawin yang
diakui, serta suami istri yang hidup terlama.[19] Dasar
hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem
hukum waris KUHPerdata ada 2 (dua) cara yaitu: [20]
1.
Pewarisan secara Ab-instestato, yaitu pewarisan menurut
Undang-undang.
Pewarisan
berdasarkan Undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan dimana hubungan darah
merupakan faktor penentu dalam hubunganpewarisan antara pewaris dan ahli waris. Ada 2 (dua) cara
mewaris berdasarkan undang-undang (Ab-instestato) yaitu mewaris berdasarkan kedudukannya
sendiri (Uit Eigen Hoofde) dan berdasarkan penggantian (Bij Plaatsvervulling).[21]
2.
Pewarisan secara Testamentair, yaitu pewarisan karena
ditunjuk dalam surat
Wasiat atau Testament.[22]
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa
yang dikehendaki setelah ia
meninggal.
Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja “Enzijdig” dan setiap waktu dapat ditarik
kembali oleh
membuatnya. Surat wasiat atau testament adalah surat pernyataan tentang apa yang
dikehendaki setelah ia meninggal dunia.[23] Sifat
utama surat
wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia
dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat wasiat masih hidup,
surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah
pembuat wasiat meninggal dunia maka surat wasiat tidak dapat diubah,
dicabut dan ditarik kembali oleh siapapunn yang menjadi ahli waris.
KUHPerdata tidak
membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan
kelahiran, hanya ada keturunan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada
maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun
ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang
lebih rendah derajatnya. Orang-orang yang mempunyai keperluan atas kejadian
meninggalnya seorang yang pada hubungannya dengan adanya suatu harta kekayaan
yang disiapkan untuk dimanfaatkan akan kebutuhan keselamatan masyarakat.
2.3.3
Harta Waris
Harta warisan adalah
harta kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan
pewaris dan berpindah kepada para ahli waris.[24] Keseluruhan
kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi hak milik bersama ahli
waris disebut Boedel.[25]
Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata yang
bersumber pada KUHPerdata meliputi seluruh harta benda beserta hak dan
kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan
uang. Pada ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, yaitu hak dan
kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat beralih kepada
ahli waris antara lain:[26]
1.
Hak untuk memungut
hasil (vtuchtgebruik);
2. Perjanjian
pemburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
3.
Perjanjian perkongsian
dagang, baik yang berbentuk matcshap
menurut
KUHPerdata maupun firma, sebab perkonsian ini berakhir dengan
meninggalnya salah seorang anggota atau persero.
Hak memungut hasil (hak
untuk menarik) hasil dari benda orang lain, yang seolah-olah benda itu miliknya
sendiri, dengan kewajiban untuk menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan
seperti semula. Hak memungut hasil tidak hanya memberikan hak untuk menarik
hasilnya saja, tetapi juga untuk memakai benda itu. Perjanjian pemburuhan kerja
bersifat pribadi yaitu perjanjian dimana pihak buruh atau pekerja mengikatkan
dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain untuk melakukan pekerjaan dengan
menerima upah.
Pengecualian lain yaitu
ada beberapa hak yang terletak dalam lapangan hukum keluarga tetapi dapat di
wariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu:[27]
a.
Hak seorang ayah untuk
menyangkal sahnya seorang anak;
b.
Hak seorang anak mentut
supaya ia dinyatakan sebagai sebagai anak sah dari
ayah
dan ibunya.
Berdasarkan pernyataaan
tersebut dapat diuraikan mengenai wujud harta peninggalan meliputi seluruh hak
dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan
uang. Harta penginggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya
meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau keuntungan, melainkan juga
termasuk hutang-hutang si pewaris yang merupakan pasiva dari harta kekayaan
yang ditinggalkan, sehingga kewajiban membayar hutang si peninggal warisan
dibayar. Artinya, harta warisan yang dapat
beralih kepada para ahli waris tidak
selalu dalam keadaan bersih setelah dikurangi
hutang-hutang pewaris, melainkan dapat
saja ahli waris menerima harta warisan yang didalamnya tercakup kewajiban
membayar hutang-hutang pewaris.
[1]
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum
Keluarga, (Bandung; Alumni, 1980), hlm 52
[2]
Pasa 832 KUH Perdata
[3]
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian
Hukum (Legal Research), (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 7
[4]
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum
( Jakarta: Kencana 2013), hlm. 35
[5]
Ibid, hlm 93.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid, hlm 143-144
[8]
Ibid, hlm 171.
[9]
Ibid, Hlm 42.
[10]
R. Subekti & Tjitrosudibio, Pokok-Pokok
Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1977) Hlm. 48
[11]
Bastian Tafal, Pengertian Anak Menurut
Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali
Press, 1989), hlm 40-41
[12]
Fuad
Muhammad Fachruddin, Masalah Anak
dalam Hukum Islam. ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991) hlm. 41
[13]
Oemar Salim, Dasar- Dasar Hukum Waris di
Indonesia ( Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 55
[14]
Marwan dan Jimmy, Kamus Hukum,
(Surabaya: Realite Publisher, 2009) Hlm 57
[15]
Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia
Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW (Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm
28-29
[16]
Liliana Tedjosaputro, Hukum Waris menurut
Undang-Undang Hukum Perdata: Burgelijke Wetboek, (Semarang: Panca Samudra,
1996), hlm.10
[17]
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum
Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, ( Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 15
[19]
Ibid, hlm 17
[20]
Ibid, hlm. 18
[21]
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.Cit
hlm. 29
[22]
Ibid, hlm. 29
[23]
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hlm. 85
[24]
Erman suparman, Op.Cit, Hlm. 22
[25]
Ibid, hlm. 23
[26]
Ibid, hlm. 25
[27]
Oemar Salim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di
Indonesia ( Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Hlm.2
Comments
Post a Comment