Skip to main content

contoh Konflik Agraria Struktural


KONFLIK AGRARIA STRUKTURAL
Pendahuluan
Kronologi
Di Provinsi Sumatera Barat tepatnya di wilayah Kabupaten Solok terdapat gunung api Talang. Gunung api ini berstatus aktif. Daerah gunung talang merupakan daerah potensial sumber daya alam yang berlimpah ruah salah satunya energi panas bumi. Masyarakat di sekitar gunung talang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Pada tahun 2014, Kekayaan sumber daya energi panas bumi di gunung talang diketahui berpotensi untuk dijadikan sebagai pembangkit listrik tenaga geothermal berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 2777K/30/MEM/2014. Kemudian, untuk merealiasasikan pembangunan pembangkit listrik maka dari keputusan tersebut dilanjuti dengan lelang dengan pengumuman WKP Nomor 03/10.10/WKP-4/2016, pada 25 April 2016. Akhirnya, berdasarkan pertimbangan teknis, administrasi, keuangan dan penawaran harga listrik diputuskan pemenang lelang konsorsium adalah PT.Hitay Daya Energy, tertanggal 3 Oktober 2016.
Pemenang lelang WKP GunungTalang – Bukit Kili ditetapkan surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7257 K/30/MEM/2016. Pada 2017, perusahaan asal Turki tersebut memperoleh izin panas bumi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan surat izin No 2/1/IPB/PMA/2017 seluas 27.000 Ha dengan jangka waktu 37 tahun. Sebagai informasi, blok panas bumi Gunung Talang - Bukit Kili diperkirakan memiliki cadangan 65 MW. Sementara itu, kapasitas PLTP direncanakan sebesar 20 MW dengan target operasi pada 2022.
Di awal Juli 2017, masyarakat disekitar gunung talang khususnya di nagari(desa) Batu Bajanjang dikejutkan dengan adanya proyek pengembangan panas bumi (geothermal). Diketahui bahwa perusahaan [PT Hitay Daya Energy] sudah mulai melakukan aktivitas eksplorasi potensi energy dengan mematok lubang pengeboran sumur panas bumi dibeberapa titik sekitar gunung talang. Dua diantara titik pengeboran tersebut berada dibahu gunung  yang lokasinya tidak jauh dari kawah gunung yang menjadi pusat panas bumi. Selain itu, aktivitas land clearing atau pembukaan lahan, pembukaan akses jalan, serta pendirian kamp-kamp untuk pengeboran panas bumi juga sudah dilakukan. Sontak, hal tersebut ditentang oleh masyarakat sekitaran gunung talang. Masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses perizinan dan penyusunan dokumen lingkungan.
Pada Agustus 2017, perusahaan mengundang beberapa perwakilan masyarakat guna menghadiri rapat penyiapan lahan untuk Kantor PT Hitay Daya Energy di wali nagari. Pada rapat tersebut masyarakat hanya dijadikan objek sosialisasi, masyarakat yang hadir tidak dapat mengutarakan aspirasinya. Masyarakat telah meminta penjelasan pada perusahaan tapi tidak ditanggapi. Akibatnya hal ini justru membuat masyakarat geram dan menuai banyak penolakan terhadap proyek tersebut.
Masyarakat berkali-kali melakukan aksi. Mereka yang hadir dalam forum-forum sosialisasi proyek panas bumi perusahaan bersama camat dan wali nagari, terang-terangan menolak. Warga meminta pemerintah mengkaji ulang izin proyek panas bumi ini.Mereka menuntut agar aktifitas proyek di hentikan dan dilakukan pegkajian ulang. Mereka khawatir bahwa pelaksanaan proyek tersebut membawa efek samping lingkungan dan berdampak buruk terhadap sector pertanian masyarakat. Terlebih lagi, lokasi proyek berada di kawasan hutan yang berstatus sebagai hutan lindung yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan system penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. Lokasi proyek juga mencaplok tanah perkebunan dan perladangan masyarakat.
Padahal dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL/UPL) Hitay telah dicantumkan ancaman kehilangan vegetasi darat karena pembersihan lahan, peningkatan kebisingan penggunaan alat berat, dan erosi tanah karena vegetasi hilang, kehilangan flora darat, perubahan tata guna lahan yang semula pertanian jadi tidak bias lagi, perubahan bentang alam karena perbukitan akan didatarkan. Meski sudah mengantongi UKL/UPL, ternyata proyek tersebut belum memiliki AMDAL, walaupun perusahaan mengklaim sudah memiliki izin.
Meskipun masyarakat telah mengajukan keberatan, perusahaan tetap melanjutkan aktivitas eksplorasi. Disaat situasi sedang memanas, pada tanggal 20 November 2017, perwakilan dari PT. Hitay Daya Energy memaksakan diri untuk meninjau lokasi yang direncanakan menjadi tempat perkantoran dan lokasi pengeboran proyek energi panas bumi di batu bajanjang, kecamatan lembang Jaya Kabupaten Solok. Pada saat akan meninggalkan lokasi proyek, rombongan perwakilan dari PT. Hitay Daya Energy dihadang oleh ratusan massa. Penghadangan tersebut berakhir dengan pembakaran 1 unit mobil milik PT. Hitay Daya Energy setelah perwakilan diamankan anggota Polres.
Pasca peristiwa tersebut, PT. Hitay Daya Energy melaporkan kejadian tersebut pada kepolisian. 3 orang massa di tangkap dan berstatus tersangka terkait pembakaran mobil serta beberapa orang masuk dalam DPO. Masyarakat diresahkan dengan penyelidikan yang dilakukan kepolisian, sebab setiap masyarakat yang ikut dalam rapat untuk aksi penolakan proyek di panggil kepolisian dan di tuduh dengan penghasutan. Akibatnya masyarakat merasa diintimidasi, padahal masyarakat hanya berjuang dalam berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pada tanggal 21 Maret 2018, PT Hitay Daya Energy kembali lagi memaksakan diri untuk masuk ke lokasi eksplorasi. Kali ini PT Hitay Daya Energy di bantu dengan aparat yang berjumlah 50 orang. Namun, lokasi pembangunan tanah tempat pembangunan proyek merupakan tanah peladangan dan pertanian masyarakat telah di penuhi 1.000 orang massa yang berniat mengadakan aksi damai menolak pembangunan geothermal di Gunung Talang.Saat itu terjadi aksi dorong-dorongan antara aparat kepolisian dan masyarakat. Beberapa orang masyarakat diseret, dicekik dan dipukul. Beberapa orang masyarakat dilarikan ke Puskesmas Bukik Sileh untuk mendapatkan pengobatan. Mereka menderita luka-luka memar pasca bentrokan. Ketujuh korban luka tersebut terdiri dari 2 orang laki-laki, 3 perempuan dan 2 anak-anak. Mereka merupakan bagian dari masyarakat yang menolak pembangunan geothermal dan menamakan diri Salingka Gunung Talang.
 Peristiwa kekerasan yang melukai tujuh orang kali ini menambah daftar panjang kekerasan aparat dalam rangka mengamankan kepentingan investasi. Penggunaan kekuatan negara ini dirasa oleh masyarakat sebagai bentuk intimidasi mereka.

Pembahasan
Salah satu prinsip dasar dari penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturan yang berlaku dan menerapkan asas pemerintahan yang baik.[1] Di dalam negara hukum modern termasuk negara Indonesia,          Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) diperlukan sebagai pedoman dan arahan bagi alat administrasi negara untuk mencapai tujuan negara. AAUPB yang awalnya merupakan nilai-nilai etik yang telah berkembang dalam masyarakat tersebut harus dipatuhi oleh aparat pemerintah pusat dan pemerintah daerah.[2]
Melanggar aturan tentunya dapat menimbulkan banyak dampak, seperti: ketidakpastian hukum, kerugian perekonomian, dan terancamnya akses keadilan masyarakat. Dalam menjalankan tugas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup beberapa waktu terakhir, muncul fenomena mengenai kebijakan pemerintah yang seolah terlihat sesuai dengan hukum, tetapi secara nyata tidak mencerminkan keadilan dan masih meninggalkan permasalahan.[3]
Asas-asas tersebut diperlukan agar tindakan yang dilakukan oleh alat administrasi negara tidak merugikan warga negara. SF. Marbun mengemukakan, bahwa di dalam sebuah negara hukum, pasti mengalami berbagai persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara, utamanya untuk mencapai tujuan negara. Hal ini dapat dihindari apabila penyelenggara negara yang dalam hal ini diwakili oleh pejabat tata usaha negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mengindahkan aturan hukum dan AAUPB sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan tidak melanggar hak asasi warga negara.[4]
Fenomena seperti ini sebenarnya banyak terjadi, salah satunya adalah penerbitan izin lingkungan perubahan kepada PT Hitay Daya Energi di wali nagari sebagaimana kronologi kasus diatas. Namun dalam penerbitannya masyarakat hanya dijadikan objek sosialisasi tanpa diberi kesempatan untuk mengutarakan aspirasinya. Kasus inilah yang akan dibahas dalam tulisan makalah kali ini.
Kebijakan hukum sejenis masih banyak, tetapi contoh di atas menunjukkan bagaimana kegagalan menjalankan esensi dari penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam kebijakan pemerintah, yang semestinya tunduk kepada aturan sebagai panduan dan batasannya.[5]  Kebijakan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 2777K/30/MEM/2014 tentang izin lingkungan perubahan dan keputusan administratif selanjutnya juga menempatkan hukum sebagai “alat” legitimasi. “Alat” legitimasi yang dimaksud adalah untuk “membenarkan” kebijakan yang dibentuk.
Kurun waktu 2017, KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 659 kejadian konflik agraria di berbagai wilayah dan provinsi di tanah air dengan luasan 520.491,87 hektar. Konflik-konflik tersebut melibatkan sedikitnya 652.738 Kepala Keluarga (KK). Dibanding tahun 2016, angka kejadian konflik pada tahun ini menunjukkan kenaikan yang sangat siginifikan di mana terjadi peningkatan hingga 50%. Jika dirata-rata, hampir dua konflik agraria terjadi dalam satu hari di Indonesia sepanjang tahun 2017.[6]
Pemerintah mengesahkan Perpres Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Reforma Agraria ditempatkan sebagai salah satu Program Prioritas Nasional. Namun, back up dari sisi regulasi untuk implementasi, yakni Perpres tentang Reforma Agraria tidak juga terealisir.  Sebagai jalan keluar, baru pada tahun 2017, Menteri Koodinator Perekonomian mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria. Tim ini bertugas melaksanakan percepatan reforma agraria yang melibatkan beberapa lembaga dan kementerian terkait, seperti Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Desa dan Pembangunan Daerah Tertingal dan Transmigrasi (PDTT). Melalui Tim Reforma Agraria yang terbentuk di masing-masing kementerian, pemerintah bersama organisasi masyarakat sipil lainnya diharapkan dapat merumuskan mekanisme percepatan implementasi reforma agraria.[7]
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA sejatinya dimaksudkan berlaku sebagai lex generalis (“undang-undang pokok”) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya, yakni bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat tersebut kemudian dijabarkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).[8]
Dalam perjalanannya, UUPA yang nasionalis, populis, dan mendasarkan pada hukum adat Indonesia tidaklah seperti tujuan pembentukannya. Berbagai penyimpangan UUPA mendorong munculnya Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).[9]Beberapa contoh perlunya melengkapi UUPA disebabkan perubahan paradigma kebijakan ekonomi makro; globalisasi; derasnya arus investasi; semakin tajamnya konflik dalam perebutan akses terhadap pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah karena  ketimpangan atau ketidakadilan dalam struktur penguasaan atau pemilikan tanah; derasnya alih fungsi tanah sehingga mengancam ketahanan pangan, timbulnya bencana alam, dan kerusakan lingkungan; perlunya menerapkan asas-asas pemerintahan yang baik dalam pengelolaan pertanahan.[10]
Setiap kegiatan pembangunan tidak lepas dari tanah sebagai ruang untuk penyelenggaraannya. Kegiatan pembangunan tersebut diselenggarakan oleh negara dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat.[11] Oleh karena itu ketersediaan tanah bagi kegiatan pembangunan adalah suatu hal yang penting untuk diupayakan oleh negara. Dewasa ini ketersediaan tanah-tanah negara yang “bebas” yaitu tanah yang sama sekali tidak dihaki atau diduduki orang atau pihak-pihak berkepentingan lainnya adalah sangat terbatas.[12]
Keterbatasan tanah negara bebas ini mengharuskan pemerintah sebagai penyelenggara negara berhadapan dengan para pemilik tanah dalam upaya menyediakan tanah untuk kegiatan pembangunan. Cara pengadaan tanah menurut peraturan perundang-undanganyang berlaku di negara kita adalah sebagai berikut: a) pelepasan atau penyerahan hak; b) jual beli, tukar menukar, cara lain yang disepakati secara sukarela; dan c) pencabutan hak atas tanah. Dari ketiga cara pengadaan tanah tersebut, pencabutan tanah dianggap sebagai cara yang kurang memperhatikan hak asasi manusia. Pencabutan tanah tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip penghomatan hak asasi manusia untuk mendapatkan kehidupan yang layak berkaitan dengan tanah.[13]
            Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk kesejahteraan manusia tanpa merusak lingkungannya. Proses pembangunan akan diawali dengan melihat potensi yang ada, kemudian dilanjutkan dengan pengelolaan melalui perencanaan kebijakan pembangunan hingga sampai pada keluaran yang diharapkan atau hasil yang akan dicapai. Dalih krisis energi, menjadi salah satu masalah yang telah memaksakan paradigma pembangunan konvensional untuk diterapkan. Kebijakan sektor energi menjadi prioritas dengan melakukan pembangunan infrastruktur energi yang dianggap bisa menjawab masalah tersebut.[14] Pembangkit listrik menjadi perhatian utama. Dengan dasar itulah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
Atas nama antisipasi krisis energi ini juga yang menjadi dalih lahirnya kebijakan pembangunan PLTU Kabupaten Solok - Sumatera Barat. Namun sayangnya dengan cara memaksa ribuan jiwa direlokasi, kehilangan lahan produktif yang sudah turun-temurun. Belum lagi dampak lingkungan hidup, ketika bentang alam berubah akibat pembangunan infrastruktur PLTU Banjir, erosi dan krisis air bersih menjadi masalah serius, namun diabaikan oleh negara. Jika ditelaah dari perspektif HAM, berbagai dampak yang diprediksi sebelum dan setelah pembangunan berkelindan dengan persoalan pemenuhan HAM yang belum selesai hingga sekarang. Tidak berhenti sampai di situ, terdapat indikasi ecocide dalam pembangunan PLTU  ini. Ecocide sendiri merupakan kejahatan modern yang setara dengan kejahatan internasional lainnya yang disebut dalam Statuta Roma, dikarenakan tindakan, pelibatan dan dampaknya terhadap esensi damai dan perdamaian penduduk, hak hidup dan tata kelangsungan kehidupan manusia dan lingkungan hidup masa kini dan masa yang akan datang.[15]

Kesimpulan
Pemerintah mengesahkan Perpres Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Reforma Agraria ditempatkan sebagai salah satu Program Prioritas Nasional. Namun, back up dari sisi regulasi untuk implementasi, yakni Perpres tentang Reforma Agraria tidak juga terealisir.  Atas nama antisipasi krisis energi ini Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 2777K/30/MEM/2014 tentang izin lingkungan juga yang menjadi dalih lahirnya kebijakan pembangunan PLTU Kabupaten Solok - Sumatera Barat. Namun sayangnya dengan cara memaksa ribuan jiwa direlokasi, kehilangan lahan produktif yang sudah turun-temurun. Belum lagi dampak lingkungan hidup, ketika bentang alam berubah akibat pembangunan infrastruktur PLTU



Rekomendasi
1.      Penegasan hak atas lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia dan sebagai hak fundamental yang tidak bisa dikurangi sedikitpun dan dalam situasi apapun. Hak generasi ketiga Konstitusi telah menegaskan dan turunan Undang-Undang, UU 39/1999 tentang HAM dan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Karenanya WAperlu mendesak negara baik pemerintah maupun parlemen (DPR RI) menjalankan  peran dan fungsinya sebagai benteng hak asasi manusia untuk memastikan kewajiban penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dijalankan.
2.      Diperlukan upaya politik untuk mendesak dipenuhinya hak pemulihan oleh negara. Hal ini menjadi mandat wajib sebab telah termaktub di dalam DUHAM (Deklarasi Universsal Hak Asasi Manusia), bahwa setiap orang yang terlanggar hak-haknya harus mendapatkan pemulihan yang efektif (effective remedy). Serta perlunya memberikan perlindungan terhadap pembela lingkungan hidup, pejuang agraria dan hak asasi manusia.
3.      Segera melaksanakan Perpres nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria untuk mengurangi terjadinya sengketa dan konflik agraria
4.      Dalam setiap kebijakan yang diambil selalu memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.












Daftar Pustaka
Buku
A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2014).
Dewi Kartika, Laporan Konflik Agraria, Pencapaian Reforma Agraria dan Monitoring Perkembangan Kebijakan Agraria Nasional, Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta, 2017.
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014).
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria(Yogyakarta, Cetakan I, 2007).
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) (Bandung: Refika Aditama, 2009).
Sitorus, Oloan dkk. (1995). Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah. Dasamedia Utama, Jakarta.
Sitorus, Oloan dan Dayat Limbong. (2004). Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2016. 
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah ( Jakarta: Kencana, 2015).

Jurnal
Okky Chahyo Nugroho, Konflik Agraria Di Maluku Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM Volume 9, Nomor 1, Juli 2018, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.
Sembiring Reynaldo, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Lembaga Pengembangan huku lingkungan Indonesia, Volume 05 Nomor 2, April 2019.
Winahyu Erwiningsih, Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945 (Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2018).
Lynch, Owen J. and Kirk Talbott 2015 Balancing acts: Community-based forest management and national law in Asia and the Pacific. Wahington DC: World Resources Institute.
Nicholas Hildyard. 2016. Licensed Larceny: Infrastructure, financial extraction and the Global South. Manchester: Manchester University Press.

Peraturan Perundang-Undangan
UUD NRI Tahun 1945
TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok  Agraria
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017.
Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria
Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria.
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 2777K/30/MEM/2014 tentang izin lingkungan





[1] Sembiring Reynaldo, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Lembaga Pengembangan hukum  lingkungan Indonesia, Volume 05 Nomor 2, April 2019 Hlm 208.
[2] Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), Hlm 65.
[3] Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) Refika Aditama, Bandung,  Hlm 207.
[4] S.F. Marbun, 2016, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm. 1. 
[5] A. Sonny Keraf, 2014, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, PT Kanisius, Yogyakarta, hlm. 220.
[6] Dewi Kartika, 2017, Laporan Konflik Agraria, Pencapaian Reforma Agraria dan Monitoring Perkembangan Kebijakan Agraria Nasional, Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta, Hlm 22.
[7] Ibid
[8] Urip Santoso, 2015, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah  Kencana, Jakarta, Hlm 75.
[9] Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria(Yogyakarta, Cetakan I,), Hlm 35.
[10] Winahyu Erwiningsih, Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945 (Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2018), Hlm 120
[11] Okky Chahyo Nugroho, Konflik Agraria Di Maluku Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM Volume 9, Nomor 1, Juli 2018, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Hlm 88.
[12] Sitorus, Oloan dkk. (1995). Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah. Dasamedia Utama, Jakarta. Hlm 76
[13] Sitorus, Oloan dan Dayat Limbong. (2004). Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta. Hlm 152
[14] Lynch, Owen J. and Kirk Talbott 2015 Balancing acts: Community-based forest management and national law in Asia and the Pacific. Wahington DC: World Resources Institute.
[15] Nicholas Hildyard. 2016. Licensed Larceny: Infrastructure, financial extraction and the Global South. Manchester: Manchester University Press. P. 57


Comments

Popular posts from this blog

Kedudukan Hukum Anak Angkat Terhadap Hak Mewaris

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Di dalam   UU Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud Perkawinan adalah hubungan lahir batin antara seorang laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri   dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.   Kehadiran anak dalam keluarga merupakan suatu yang dinanti-nantikan sebagai penerus keturunan   serta menambah kebahagiaan. Bahkan merupakan suatu harapan orang tua terhadap anak yang dilahirkannya kelak akan mampu mewujudkan harapan dan cita-cita orang tua yang belum tercapai. Begitu pentingnya kehadiran anak dalam hubungan perkawinan, membuat suatu pandangan dalam masyarakat bahwa tidak adanya keberadaan anak merupakan perkawinan yang gagal. Adanya hubungan yang tidak harmonis antara suami istri dan faktor biologis yang tidak baik merupakan beberapa penyebab ketidakberadaan anak pada pasangan suami istri. Sehingga mereka yang tidak mempunyai anak sering mengambil tindaka...

Contoh PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa   Jual Beli Tanah Untuk Mewujudkan Struktur Agraria Yang   Lebih Adil. Daftar Table Etikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobyek Tanah Sumber diperoleh dari https://bldk.mahkamahagung.go.id/images/PDF/2018/PENJELASAN-HUKUM-PEMBELI-BERITIKAD-BAIK.pdf Hal-hal yang harus dicermati PPAT KKP Sertifikat asli HAT, surat bukti atau surat keterangan penguasaan tanah Pasal 39 PP No. 24/1997 Pasal 45 PP No. 24/1997 Kesesuaian sertifikat atau surat keterangan dengan register - Pasal 45 PP No. 24/1997 Jual beli dilakukan melalui PPAT dan perbuatan hukum terkait sah (tidak ada pembatalan) - Pasal 45 PP No. 24/1997 Kelengkapan dokumen - Pasal 45 PP No. 24/1997 Kewenangan dan kecakapan para pihak terkaitnya Pasal 39 PP No. 24/1997 - Surat kuas...

Prostitusi Di Tengah Kebutuhan Seksualitas

Helooo semua,,, Setelah sekian lama tak ku kunjungi fasilitas blogger termasuk juga memangkrakkan jari gue buat nulis, kali ini gue mau ngebahas soal prostitusi, gak mungkin loe yang baca tulisan ini tidak tau kasus yang menyeret artis papan atas ibukota ya itulah gak perlu gue sebutkan juga…. Alesan gue ngeluarin uneg-uneg disini karena gue gerah denger respon para pejuang feminisme yang mengatakan media terlalu memojokkan mucikari dan gak pernah mengekspose para hidung belang yang sudah mengeluarkan krotonya terus ada lagi yang nyuruh nutup tempat prostitusi… btw bukannya mucikari itu dapet uang dari pemesan, emang sih dalam prostitusi ada yang namanya permintaan dan penawaran lalu muncul yang namanya transaksi…yaudah kalau mau uang ya harus terima resiko ke ekspose media kalau kena.  Kalau penikmat kan udah bayar ya dia jadi konsumen, “ kepuasan adalah prioritas kami ” kan itu semboyannya. Toh kitab hukum pidana kita juga gak ngatur di UU Perdagangan Orang aja kan set...